Kamis, 06 Januari 2011

PUISI SANG PAWANG MANTERA DARI TAREMPA

PUISI SANG PAWANG MANTERA DARI TAREMPA
Oleh : Korrie Layun Rampan

MENARIK sekali pembacaan sajak-sajak Ibrahim Sattah 25 september 1978di Taman Izmail Marzuki. Bukan saja karena pembacaan itu dibantu oleh beberapa figuran dan dengan pemecahan kaca serta joget ajojing, tapi terutama karena audience bisa langsung mendengar puisi mantera itu bersmburan dari mulut sang penyajaknya, paling tidak, bagi saya pernyataan-pernyataan penyair mengenai proses penciptaannya serta latar belakang kehidupan pribadinya bisa menjalin komunikasi dan lebih menerang-jelaskan makna sajaksajak yang dibaca. Saya mendapat dasar aspresiasi setelah mendengar pengakuan penyairnya bahwa sajak-sajaknya ditulis karena keterpesonaanya terhadap alam. selaras dengan pernyataan yang di catat Slamet Sukirnanto dalam Pelita, bahwa ia menulis sajak bermula dari “main-main” dan berakhir dengan tertegun. Sebagai mana ia selalu melihat sesuatu dengan kebencian, tapi berakhir dengan rasa cinta yang dalam, intens dan akrab. Sehingga puisi merupakan pemindahan sesuatu kedalam “kat-kata”, sesuatu yang mungkin tak mudah dimengerti, tapi ia bisa mencari sesuatu dalam dirimanusia. Seperti halnya pada dukun mantera, manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada puncuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Ia tertegun di situ. Saya rasa penyataannya ini sangat tepat seperti yang terasa dalam sajak yang berjudul “Wa Wa”.

Seperti halnya mantera, sajak-sajak Ibrahim Sattah kaya dengan bunyi. Ada tujuan hanya inprovisatoris semata tanpa maksud membangun kata dalam arti yang vocabuler. Tetapi kta atau bunyi itu dimadsudkan untuk membangkitkan suasana magis, sebab kalau sajak itu dibacakan maka suasana yang magis – religius itu pun terbnagun dan tersua di sana. Sajak jadi mencekam, menghimbau dan menarik pendengarnya kedalam suasana kemantraan itu. Sebab umumnya mantera punya sifat menarik atau menolak pesona atau kekuatan yang tersamar dan tersembunyi. Apakah itu kekuatan baik atau kekuatan buruk. Keduanya sama-sama punya arah, jalan, kekuatan, dan tujuan maksimal yang ingi dicapai. Pada bagian sajak “Kau” Ibrahim menampilkan kata-kata dan bunyi yang mempertalikan suasana magis dalam usaha memperjelas tujuan yang akan dicapai lewat saran bunyi-bunyian yang tidak dipahami secara vocabuler. Di sini suasana sajak yang berpangkal dari ucap mantera terasa sangat intens sekali. Kata-kata dan bunyi tidak punya arti selain lebih mempertegas suasana magis itu sendiri. Kita baca misalnya penggalan sajak ini.

tidak adam
tidak aku
tidak dayang-dayangmu
menggapai
mengapaigapai ke
langit
mencari surgawi
mencari wa
mencari wu
mencari wi
mencari wa wu wi
mencari wi wu wa
yang hanya wa
yang hanya wu
yang hanya wi
yang hanya wa wu wi
yang hanya wi wu wa

Selaras dengan sajak di atas adalah sajak “sembilu” yang terdiri dari 7 bagian itu. Sajak yang umunya menampilkan bunyi-bunyi dengan tipografi yang manis bertingkat-tingkat. Kata-katanya bebas bergerak tidak mengandung lambang-lambang tertentu, kecuali kesadaran diri penyair terhadap eksistensinya yang serius hanyut pada arus ketidak tahuan arah tujuan dari hidup. Alam memberi pesona, memberi isyarat-isyarat kehidupan yang sering membuat ketertegunan kala di pandang dan dihayati secara dalam dan seksama. Alam suatu misteri, suatu daya hidup yang yang maha dahsyat sekaligus suatu sumber kehidupan itu sendiri. Timbullah kesadaran manusia ketika berada di tengah alam, diantara benda-benda, sendiri tanpa pesona lainnya, orang akan sukar mengerti dirinya karena tidak pnya bahan banding yang bisa memberikan penjelasan. Pesona itu boleh menyebut apa saja untuk identitas dirinya, karena ia berada di luar dari orang lain. Suatu gambaran keterasingan yang kena dan pas dari suasana alami itu. Jelas seperti sajak “Sembilu” bagian 6 dan sajak-sajak yang melukiskan perjalanan yang entah ke mana.

Umunya sajak-sajak Ibrahim Sattah lahir dari kedalaman kehidupan batin, keluarga dari kedalam lembah keprasejarahan dan kepurbaan lewatpergolakan gelap-terang. Terlihat padasajak “Batubelah”, “Dandandid” dan lain-lain. Dan sperti umumnya mantera, sajak-sajak dibangun dengan banyak menyebut nama benda, kaya bunyi tapi seperti tanpa makna. Yang diutamakan hanyalah unsur magis itu semata. Sehingga setiap kata boleh berdiri sendiri dengan beban magis yang menyampaikan pukaunya sendiri. Baik pukau itu lewat lembah yang gelap mau pun menyelusuri lembah cahaya. Paling tidak, karena ia punya beban tersendiri yang berbeda dari matera, membentuk jalur komunikasi batin antara penyajaknya dengan pembaca. Sehingga kalu mantera bertujuan menolak petaka atau membuat petaka, atau guna meraih suatu hasrat, puisi ( yang tentu sajabukan mantera) saya rasa tujuannya hanya menciptakan pesona batin. Dalam hal ini materi dan media yang digunakan Ibrahim Sattah memberi kesegaran lewat daya ucapanya yang mandiri seperti itu.
Ia berkata-kata dengan ekspresi yang purba dalam suasana hidup riau dan semraut, sehingga apa yang dikatakannya bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi justru itulah yang mencelikkan mata kita di kurun ini. Kita perhatikan dia berkata tentang pasir, batu, bayang, lengang, sunyi, tuhan dan dirinya sendiri. (Dandandid).

Pada sajak-sajak “duka” jelas sekali sifat kemanteraan, di manasajak itu tidak menampilkan makna atau pengertian-pengertian yang defintif. Terasa sejak dibangun dengan main-main seperti kata-kata : “duka?, duka itu anu” yang jelas tidak memberi kepastian arti. Anu bisa ditafsirkan dengan beribu makna. Tapi baris akhir sajak memberikan aksentuasi yang khas dari geletar-geletar mantera. Apa lagi kalau sajak itu dibacanya, sangat terasa intensitas magisnya tampil dengan sepenuh kedalamanya. “Dukaku. Dukamu.dukadiri dua jari darisepi”.

Penyair Ibrahim Sattah kelahiran Tarempa, kawasan Laut Cina Selatan, pulau Tujuh – Riau 1945. Sajak-sajaknya cepat menarik perhatian publik setelah sajaknya yang berjudul “Tempias” dimuat di majalah sastra Horizon (1971). Sajak itu melukiskan nostalgia masa kanak-kanak lewat kenangan manis di masa kecil. Namun setelah dewasa, hari-hari itu terasa terus pergi semakin jauh-semakin jauh. Jauh sekali. Suasana yang di bangun penyair asangat harmonis lewat daya ucapnya yang bersahaja.

Dari sini
Diri yang kau lepaskan seluruh
Mengerling
Lalu pergi
Lalu jauh
Lalu
Jauh
Semakin jauh

Selisin sajak yang dibacakan di TIM malam itu memang dengan jelas memperlihatkan wajah kepenyairan Ibrahim Sattah dengan lebih terang lagi kepada kita. Walaupun sajak-sajak itu telah pernah kita baca dari berbagai penerbitan, tetapi pertemuan langsung dengan penyairnya membawa suasana baru, terutama bagi apresiasi kita. Beberapa sajak sangat mengesankan sekali ketika di baca oleh penyairnya. Dan wawasan estetik penyair ini yang dijelaskannya lebih mempermudah para penikmat mengapresis puisi-puisinya. Ibrahim Sattah ternyata menimba pengalaman murni dari alam, dari selingkungan kehidupan sehari-hari yang masih orisinil. Jadilah sajak-sajaknya mengucapkan dirinya dalam kesahajaan kepurbaan, lahir dari relung batin yang bergulat dengan hal-hal magis religius. Berbagai aspek inilah yang melahirkan puisi-pusi murni, puisi mantera !.

Korrie Layun Rampan, Puisi Sang Pawang Mantera dari Tarempa
PUISI INDONESIA KINI, SEBUAH PERKENALAN

1 komentar:

  1. sajak “sembilu” yang terdiri dari 7 bagian itu. Apakah ada teks sajak sembilu pak?

    BalasHapus