Kamis, 06 Januari 2011

MENGENAL IBRAHIM SATTAH

MENGENAL IBRAHIM SATTAH
Oleh : Slamet Sukirnanto

Penyair Sattah mulai kita kenal, ketika puisi-puisinya dimuat dalam majalah sastra Horizon. Sekitar tahun 70- an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974, ia lekas menarik perhatian karena penampilannya dalam membaca puisi secara unik dan segar. Dari karya-karyanya dan cara pembacaannya menimbulkan kesan kepada kita bahwa Sattah memiliki ciri-ciri tersendiri. Sementara itu juga menumbuhkan kesan yang mendalam, bahwa karya-karya Sattah banyak mengingatkan kita pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri. Umpamanya baris puisi ini :

“ duka itu saya saya ini kau kau itu duka
duka bunga duka daun duka duri duka hari”
(“Duka “, Ibrahim Sattah)

Bandingkan dengan baris di bawah ini

“dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resah kalian”
(“O”, Sutardj Calzoum Bachri)

Memang, sepintas lalu karya kedua orang penyair ini susah dibedakan. Ada sementara kalangan berpendapat bahwa puisi-puisi mereka mirip satu sama lain. Apakah benar demikian ?. Disini diperlukan diperlukan seorang penelaah yang tekun untuk mencari penerangan yang lebih gamblang tetang masalah ini. Hal ini menarik. Karena, kebetulan Sutardji dan Sattah lahir di daerah yang sama : Riau – tempat asal bahasa Indonesia.
Dan kebetulan pula mereka bertolak dari tradisi sastra yang sama Mantera.

Tahun ketika ibtahim Sattah muncul dalam majalah Horison, Sutardji dalam suatu kondisi puncak mempesona publik peminat sastra, karena usahanya ingin mendobrak kelesuan dalam dunia puisi kita. Ia telah menawarkan sikap baru, orientasi baru dalam mencari sumber penciptaan puisi : kembali pada hakekat mantera. Pada saat itu, sutardji hanya menarik perhatian karena bentuk pengucapannya dalam puisi tapi juga cara penampilanya didepan publik. Kekuatannya dalam menggerakkan dan merangsang imajinasi kita secara total. Sehingga ketika kemudian hari muncul Ibrahim Sattah membacakan puisinya di depan Pertemuan Sastrawan itu, kita dikejutkan oleh corak penampilan yang lain lagi . Sehingga kita mendapatkan perbandingan antara dua penyair ini. Setidak-tidaknnya kita telah diperkaya oleh kehadiran puisi Sattah.

Dalam percakapan dan pertukaran pikiran saya dengan pelukis Rudjito (Dosen LPKAJ) pada saat itu menemukan suatu perumusan perbandingan gejala persajakan antara Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan Ibrahim Sattah (IS). Perumusan garis besar itu seperti berikut :

SCB : Karyanya dilandasi materi-materi yang ditarik dari rasa keasdaran hidup yang besar – kesadaran akan pengalaman kemelut, perasaan hati nurani yang lumat , penderitaan pasi, kekayaan yang pada hakekatnya dimiliki sebagai fundamen.
IS : karyanya lahir dari kedalaman kehidupan batin, diluar dari kedalaman
lembah keprasejarahan dan kepurbaan lewat pergolakan gelap-terang.
SCB : Patung
IS : Totem (rasa organismesendiri yang diucapkan secara absolut).
SCB : Meruang.
IS : Menyerap ke dalam.
SCB : Kota (istilah sementara).
IS : Kampung (istilah sementara).
SCB : Ruang – gerak(movement).
IS : Ketenangan.
SCB : Ke luar.
IS : Ke dalam.
SCB : Agresip, vitalitas, visi.
IS : Bergema, mengendap, total.
SCB : Jauh dari sumber – mencari hakekatnya saja.
IS : Dekat dengan sumber – langsung di dalamnya.
SCB : Muram.
IS : Segar.
SCB : Kemelut.
IS : Jernih.
SCB : Jiwanya – esensinya.
IS : Effecnya.
SCB : Khos.
IS : Menjelajahi pengalaman batin yang lain.


Cara menarik kesimpulan di atas memudahkan kita untuk menangkap makna yang lahir dari puisi dua penyair yang satu daerah ini. Sutardji lama telah berdomisili di Bandung (sekarang di Jakarta) dan Sattah di Pekanbaru (Riau). Nampaknya, mereka memiliki “pure experience” (pengalaman murni) yang berbeda, meskipun sumbernya dari tradisi sastra yang sama.

Meskipun tidak secara jelas-jelas ia (Sattah) menyatakan kembali pada mantera, tapi sumber penciptaannya tidak lain dari kekuatan yang terkandung dalam mantera itu. Menurut pengakuannya (1974) menulis puisi bermula dari “main-main” dan berakhir dengan tertegun, sebagaimana ia melihat sesuatu dengan kebencian, tetapi beralhir dengan rasa cinta yang mendalam, intens dan akrab. Ia juga mengatakan bahwa menulis puisi memindahkan sesuatu dalam “kata-kata” – sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti, dan dengan “kata” sesuatu telah terjadi (lihat Rudjito, 1980 : Catatan untuk sajak-sajak Ibrahim Sattah – pen). Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekedar suasana hati, bukan sekedar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada pucuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isidalam karya puisi. Meninggalkan pengertian antara wadah dan idenya sendiri. Pendirian semacam ini sesungguhnya tidak baru. Namun, perlu kita perhatikan juga.

Sebab apa yang dikemukakan diatas, mungkin sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Pierre Reverdy dalam tulisannya Di mana Puisi Kutemui (dimuat dalam Gelanggang, SIASAT). Pierre Reverdy mengemukakan : “dalam seni juga seperti dalam alam, bentuk tidak mungkin jadi tujuan. Kita tidak melangkahkan kaki untk sesuatu bentuk yang tertentu, tapi kta menemuinya, kita berhadapan dengannya dengan tidak disangka-sangka terlebih dahulu. Ia adalah suatu konsekuensi, semacam hasil yang sudah seharusnya dari suatu tindakan yang digerakkan untuk kepentingan mencapai puncak dalam perwujutan. Suatu benda yang tertentu dikerjakan dengan cara tertentu akan beroleh bentuk lain. Bentuk lahir dari dirinya sendiri”.

Kesan yang kuat yang kita kemukakan tadi bahwa Sattah juga bersumber dari mantera (seperti halnya pada SCB) ialah terletak pada kenyataan bahwa puisi itu mengandung ciri-ciri yang biasa dimiliki oleh puisi mantera. Umpamanya, kaya bunyi (vocal) sebagai kekuatan puisi. Kekuatannya terasa kalau dibacakan. Unsur-unsur magis. Dan seolah-olah tidak mempunyai makna apa-apa kecuali untuk mempengaruhi. Kita ambil contoh anteraorang Dobu (pantai selatan Irian) :

Burung rangkok, penghuni Sigasiga
Di puncak pohon Iowana
Ia memotong, ia memotong
Ia menyobek
Dari dalam hidung
Dari dalam sisi kepala
Dari dalam tenggorokan

Mantera sihir tidak mengandung makna (puisi) apa-apa kecuali apabila di bacakan mengandung kekuatan tertentu.

Apabila Sutardji menyatakan kata tidak mewakili pengertian tapi kata itu sendiri, pada Sattah kata hanya untuk menuangkan sesuatu.

Sattah memilih kata jejak, adam, langit, gerak, laut, dll, lahir dari suatu kesadaran berimprovisasi ketika ia hendak menjawab masalah misteri dirinya, hidup dan maut. Puisinya kaya dengan irama (bunyi) yang mengandung daya kekuatan yang menguguh kesadaran kita bila dibacakan. Seperti halnya sajak Sembilu. Ia mempertanyakan dirinya secara intens. Benda-benda seperti mawar, bumi, batu, langit, laut, dll itu menyatu dalam kesadaran ketika ia mempertanyakan namaku dan aku. Kata-kata itu sendiri tidak megandung perlambangan. Juga tidak membangkitkan asosiasi tertentu. Semuanya menyatu dalam kesadaran dirinya. Termasuk ketidak-tahuannya terhadap semesta dan kehidupan dengan hanya menyebutkan a i u e o dan sebagainya.

Slamet Sukirnanto, mengenal Ibrahim Sattah. Pelita, Jakarta, 19 September 1978

Tidak ada komentar:

Posting Komentar