MANUSIA ALAM IBRAHIM SATTAH DALAM PENTAS PUISI
Oleh Ikranegara
Ketika Ibrahim Sattah mengatakan bahwa puisi-puisinya tidak berangkat dari peristiwa kebudayaan tetapi dari peristiwa alam,ini menimbulkan tanda tanya. Seperti sudah sama kita ketahui, penyair dalm menggunakan kata-kata tidak sma halnya dengan para ilmuwan. Karena bisa jadi kata “kebudayaan” dan kata “alam” itu punya makna tersendiri.
Penjelasan lebih lanjut atas pernyataan itu bisa saja digali dari diri sang penyairnya sendiri, tapi bisa juga dari orang lain. Apabila sang penyairnya tergolang dalam seniman yang suka bungkam mengahadapi pertanyaan-pertanyaan tentang karyanya, maka harapan memperoleh jawaban dari dirinya buyar. Tampaknya demikianlah halnya dengan Ibrahim Sattah : ia tergolong yang punya kecendrungan untuk bungkam saja.
Seniman-seniman yang suka bungkamsemacam ini memang banyak. Di dunia barat terkanal dalam dunia bungkam ini namanya raksasa : Samuel Beckett. Ia pemenang hadiah Nobel, dan karya dramanya yang berjudul “menunggu Godot” dikenal bukan hanya di barat tapi juga dinegeri kita ini. Tapi siapakah yang dimadsudkannya dengan Godot itu ? Samuel Beckett hanya bungkam.
Dalam Rapin Teater ’80 Di TIM tampaknya aridn C Noer memiliki kecendrungan semacam itu. Itulah sebabnya didalam buku yang memuat metode kerja dan lain-lain para sutradara teater kita tidak kita temukan tulisannya, swhingga apa yang dikerjakannya di belakang layar selama ini tidak terungkapkan olehnya sendiri.
Semua ini wajar. Sebab, seperti diucapkan oleh Samuel Beckett : “ kalau saya bisa menerangkan, sudah saya terangkan !”. disamping itu, ada alasan lain kenapa seniman pencipta bungkam : “Biarlah penikmat menikmati kemerdekaannya sebagai pribadi. Biarlah mereka dengan interprestasi mereka masing-masing. Saya tidak ingin sama sekali mengganggu atau mengajar mereka.
Inilah yang sebenarnya terjadi ketika acara tanya jawab berlangsung setelah “pementasan puisi “ dan “pembacaan puisi” di Teater Arena 27 juni ’80 yang lalu antara Ibrahim Sattah dengan pengunjungnya. Maka itu, sebenarnya tepat sekali ketika Leon Agus bertanya kepada Ibrahim Sattah, apakah acara tanya jawab bisa di teruskan, setelah pertanyaan pertama seorang pengunjung tidak dijawab oleh Ibrahim Sattah.
Penyanya pertama itu menanyakan makna bait puisi Ibrahim Sattah yang berbunyi “bismillah mawar – bismillah langit – bismillah hati”. Setelah menyatakan tidak bisa menjelaskan maknanya, dilanjutkan oleh Ibrahim Sattah dengan pertanyaan malah : “menurut saudara sendiri, bagaimana?”.
Selanjutnya tanya jawab itu berjalan dengan tersendat-sendat. Dan Ibrahim pun meminta kepada beberapa nama untuk tampil kedepan membahas puisinya. Antara lain di mintanya Sutardji Calzoum Bachri. Darmanto Jt, ramadhan KH dan HB Jassin. Tapi yang kemudian tampil adalah kritikus sastra HB jassin.
PADA mulanya adalah gelap.kecuali secercah cahaya lilin dibalik dua lembar layar hitam yang ditegakkan mendinding dan membentuk sebuah celah yang menjulang ke ketinggian, sedang dilantai depannya membentang selembar kain putih memanjang sampai ke pertangahan pentas, sebungkah batu dalam gelap dan sunyi.
Ibrahim Sattah yang akan menggunkan set panggung ini berada dibalik layar hitam itu, tak nampak dari penonton. Dan dari sinilah dia mulai membaca puisi-puisinya, yang diawali dengan puisi yang ada “bismillah” nya tadi. Ketika ia sudah muncul dibalik layar, dan berada di antara kedua lembar dinding hitam itu, ketika ia berada di celah itu, cahaya masih belum bertambah. Ia masih dalam gelap.
Baru setelah beberapa bait lainya diucapkan, dan ia sudah duduk di altar itu, ada cahaya biru jatuhmengenai batu yang sebungkah besar di tengah pentas, ia pun terkena cipratan cahaya. Sambil bait demi bait ia lontarkan lewat vocalnya, cahaya dari layar meneranginya. Lalu cahaya merah dari kirinya.
Set panggung di Teater Arena itu tidak berganti, tapi penataan cahayanya borobah dari saat kesaat, menyebabkan ruang pun mau atau tidak mau berobah nilai kehadirannya. Tapi kehadiran yang utama adalah puisi-puisi Ibrahim Sattah.
“Saya seperti berada di sebuah tempat yang seram. Seperti di dalam goa”, komentar HB. Jassin malam itu tentang “pementasan puisi” Ibrahim Sattah itu.
Sedang puisi-puisi yang di bacakannya dalam rangka “pementasan puisi” itu dipilih yang tergolong religius, primitif, mistik, naif dan misterius. Pementasan ini tampaknya berhasil memukau pengunjung, dan suasana Teater Arena pun dikuasai oleh semacam kekhidmatan.
Kesuksessan Ibrahim Sattah pun mendapat sambutan tangan spontan yang cukup gegap gempita.
Beberapa oarng rekannya sepenyair berkomentar, “mudah-mudahan saja kesuksesannya kali ini tidak menyebabkan dia rusak kembali seperti dulu-dulunya. Penampilannya yang dulu (1978) diwarnai oleh celoteh keangkuhan, dan sama sekali tidak membedakan mana yang serius yang main-main, sehingga ada kesan ngawur dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tapi kali ini lain. Dia menyakinkan. Tampilnya dipanggung kali ini lain. Dia menyakinkan. Tampilnya di panggung kali ini diwarnai oleh keseriusan aktor. Vokal pas dan intens. Pokoknya bagus!”.
TENTANG kata “kebudayaan” yang saya lontarkan di bagian awal tulisan ini, menurut saya, itu berarti “kebudayaan modern yang rumit dengan fikiran, analisa dan mesin”. Sedangkan kata “alam” itu berarti “kebudayaan yang masih dekat sekali dengan alam”, sebuah kebudayaan yang bersahaja, mendekati kebudayaan yang primitif, atau kebudayaan purba.
Kesimpulan ini saya ambil dari menelaah karya-karya Ibrahim Sattah, yang saya bandingkan dengan karya puisi Sutardji Calzoum Bachri.
Potret manusia yang ada di dalam puisi-puisi Ibrahim Sattah memang tidak dalam konteks “manusia modern”, tapi lebih tepat diklasifikasikan sebagai “manusia alam”. gambaran dunia yang ada di dalam puisi-puisinya juga seperti itu, sehingga ada semacam “naivisme” yang mencuat keluar. Juga suasana primitif dunia mistik.
Beda dengan potret manusia manusia yang ada di dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Potret yang satu ini adalah “manusia modern”, demikian juga gambaran dunianya adalah modern. Bahkan di banyak bagian membersit apa yang kita kenal sebagai “filsafat” di dalam karya-karyanya. Kalaupun ada kepurbaan di dalam karya-karyanya, itu adalah kepurbaan yang berada di dasar jiwa manusia modern adanya. Keprimitifan yang ada juga dalam konteks nilai-nilai dunia modern.
Tapi juga, bahwa ada kesamaan antara Sutardji Colzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, itu benar, dalam arti keduanya secara linguistik maupun estetik dan mistis berakar pada mantera. Dan ternyata landasan berpijak yang sama ini bisa melahirkan sosok-sosok puisi yang masing-masingnya memiliki keunikan yang mandiri, berbeda satu sama lainnya. (Ikranegara, Manusia Ibrahim Sattah Dalam Puisi, Sinar Harapan, Sabtu 5 juli 1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar