Teater Arena
IBRAHIM SATTAH, salah seorang pembeharu dalam sejarah perpuisian di Indonesia. Gaya penulisannya memiliki karakter tersendiri dan sebagai penyair ia memiliki gaya baca yang khas dan ekspresif.
Musim panas 1976 Ibrahim terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, peserta Puisi Asean 78 dan turut mengambil dalam Pemeran Puisi Konkrit.
Ibrahim Sattah dilahirkan di Riau,1945. Ia tidak pernah menduga menjadi penyair. Kali ini ia akan membacakan karya-karyanya yang terbaru setelah kumpulan sajaknya yang pertama “Dandandid”.
Sebuah Pembicaraan Di Saat Keberangkatan
“Ibarahim , kemana kita katamu”.
Ini pagi koran kota melahirkan kisahnya di ujung langkah seorang pejalan. Berduka. Seperti mengayunkan aroma dan keringat pagi. Angin yang payah dan dingin yang lembut telah mengambilnya. Dibawah matahari. Langit pun turun dan berbaris disini. Banyak yang tiba-tiba mengenang dan mengingatmu (senandung dan mainan anak-anak terus berlalu. Sepi dan semakin sepi).
“Ibrahim, berikan debar dunia itu kembali”.
Pejalan itu terus mekangkah. Pergi. Dan menghilang. Rumahnya tak beratap, tidak berjendela. Tidak berkursi. Tidak beruang. Ia tengah bergurau dengan Ibrahim. Diluar banyak yang menanti. Tapi ia terus saja melangkah. Di luar masih banyak yang menangis. Tapi ia terus saja melangkah. Pejalan itu tidak pernah berhenti. Tak pernah berkeluh. Tak pernah diam. Ia tak mungkin lagi berpulang.
“Ibrahim, pindahlah kebulan”.
Ini pagi koran kota masih berduka. Ini pagi katak-katak di bulan masih berduka. Ini pagi gurun, ikan, hutan, dan semua sebab masih berduka.
“Keranda siapakah itu yang tengah malam masih berjalan?” tanyaseseorang kepada sesiapa yang masih menangis. Semua diam, tak ada yang menjawab. Tak ada yang berusaha untuk menjawab. Sang penanya geram. Karena hanya dia yang tak tahu. Penanya itu kesal. Karena hanya dia yang tak tahu. Penanya itu kesal karena dia yang tak kenal. Ia makin resah.
“Ibrahim, berikan debar dunia itu kembali”.
Pejalan itu masih melambai. Ia tak tenggelam. Dari tarempa yang sedih, laut melahirkan nelayan. Dan angin. Dan ikan. Dan pejalan. Terima kasih Tarempa. Wajahmu yang sederhana tapi merasa subur dan mengelisahkan. Tarempa tidak tidur. Tarempa tidak sedang tidur. Dan terempa tidak mungkin tidur.
Husnu Abadi 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar