Kamis, 06 Januari 2011

KRONOLOGI KEPENYAIRAN IBRAHIM SATTAH


1945 12 Desember,
lahir di Tarempa - sebuah kota kecil di laut Cina Selatan, Riau

1957
Menamatkan Sekolah Rakyat. Di SR, Ibrahim Sattah menulis sajaknya yang pertama berjudul "Ayam Jantan".

1962
Mengikuti pendidikan Kepolisian. (sejak itu menjadi anggota Polri Kodak IV Riau selama ± 16 th, diantaranya pernah bertugas sebagai anggota Polisi Militer).


1963
Belajar di SMA, tak selesai. Sebagai anggota polisi bertugas di sebuah pos di tepi hutan Kampar Kiri.

1967
Membantu penyelenggaraan Harian Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru.
- Wakil Kepala Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata Pekanbaru.
- Kepala Studio Radio Bhayangkara Komdak IV Riau.

1968
- Sajak-sajaknya mulai di publikasikan pada Harian Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru dan Padang.
- Mengasuh ruang Sastra Budaya RRI Satsiun Pekanbaru.
- Menerbitkan majalah sastra Solarium.
- Mendirikan "Studi Grup Sastra" bersama Abrar Yusra dan Wunulde Syafinal.

1969
Pindah ke Tanjungpinang, bertugas di bagian Kesatuan Provost dengan jabatan staf pembina masyarakat dan staf pribadi Danres.

1970
- Bertemu dengan Sutardji Calzoum Bachri, yang kebetulan pulang kampung.
- Sajak "Tien Marni", "Tempias", dan "Tarempa" dimuat di majalah Horison.

1972
Sajak Ibrahim Sattah disiarkan lagi di majalah Horison

1974
Desember, mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

1975
- Menghadiri International Poetry Reading di Rotterdam Belanda.
- Bersama-sama dengan Ediruslan Pe Amanriza, Aldian Arifin, Irsyadi Nurdin Yasan mendirikan Yayasan Sastra Indonesia. Di ketuai oleh Ibrahim Sattah.
- Menerbitkan kumpulan sajak-sajak "Dan Dan Did" karya Ibrahim Sattah, dan "Vagabon" karya Ediruslan Pe Amanriza.

1976
- 13 - 19 Juni, Peserta program Poetry Reading International di Rotterdam Belanda
- Bersama Aldian Arifin mendirikan "Teater Bhayangkara", lebih dikenal dengan nama "Bengkel Teater Bhayangkara" (BTB), dibawah naungan Komdak IV Riau.

Ibrahim Sattah Mencari dan Menemukan Tempat

oleh Hasan Junus


1
ADA sebuah sampiran sebuah pantun lama Melayu yang berbunyi sebagai berikut :
Kalau roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya teggakkan

Dan setelah Melaka jatuh direbut Portugis pada tahun 1511 lalu berganti tangan kepada Kompeni Belanda lalu Inggris, Mayor Farquhar meruntuhkan tembok-tembok kota perkasa itu dengan obat bedil. Menurut catatan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi batu-batunya ada yang dibawa ke Betawi dan Riau. Dengan demikian jelaslah bahwa kota di Riau bukan dibangun dengan bahan papan semata. Kota itu ditegakkan di atas fondasi yang tegap kokoh kuat dan kawi.
Lihatlah bagaimana para pendeta dan bentara bahasa dan sastra di Riau mempertahankan kontinuitas berupa karya-karya sehingga mata rantai budayanya tidak terputus yang barangkali sempat membangkitkan iri hati para antropolog. Ratapan panjang para pakar antropologi ialah tentang hilangya suatu mata rantai, yang dalam istilah ilmiah disebut missing link untuk merontruksi riwayat panjang umat manusia.
Raja Ali Haji umpamanya dalam Pengantar bukunya Busta al-Katibin dengan suara gempita menyatakan bahwa “Segala pekerjaan pedang itu boleh dilakukan dengan kalam / Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang / Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung”. Untuk memperkuatnya ia menyitir pula sebaris syair Parsi yang berbunyi:

Qalam kuyat kaman syahi jahaanam
Kata pena akulah raja di ini dunia.

Orang-orang asing yang menelitihasil-hasil sastra di Riau tidak puas hanya dengan mempelajari secara mendalam tapi juga menerjemahkannya kedalam bahasa mereka untuk konsumsi orang-orang terdidik di negeri mereka, maka urutan karya Riau yang sudah ditampilkan para sarjana Eropa dapat disusun bermula dari Syair Nasihat karya Raja Ali yang diterjemahkan E Netscher menjadi Raadgeving, karya Raja Ali Raja (bersama Raja Saleha?) Syair Abdul Maluk diterjemahkan oleh P Roorda van Eysinga, karya Raja Ali Haji Bustan al-katibin diterjemahkan van Ronkel, karya Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas diterjemahkan oleh E Netscher menjadi De Twaalf Spreukgedichten, Syair Raksi karya Raja Haji Ahmad diterjemahkan oleh H Overbeck, sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri diterjemahkan oleh Harry Aveling dan Toety Heraty Noerhadi dan sajak-sajak Ibrahim Sattah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom, Sapardi Djoko Damono, Toety Harety Noerhadi dan John Mc Glynn. (Tulisan ini dibuat apada 1 Mei 1982 sehingga beberapa karya dari Riau lainnya yang sudah diterjemahkan tidak disertakan. Pada bagian yang tersebut terakhir bahkan sajak-sajak yang berasal dari tradisi lisan Riau pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing).
Ada sebuah keterangan (fiktif) dalam dunia sastra yang menyatakan bahwa sajak sebenarnya tidak dapat diterjemahkan. Pendapat ini tidak akan terus merupakan sebuah “konon” jika orang mengetahui dengan baik batas-batas kemampuan suatu bahasa dan memahami kedalam makna kosa-kata, keluasan, kemampuan, liuk-lentur dan daya pegas bahasa lainnya.
Sebuah sajak Jerman dapat saja diterjemahkan kedalam bahasa Swahili atau bahkan bahasa orang Benin yang miskin sekali kosa-katanya itu dengan memahami kelebihan bahasa Jerman dan kekurangan bahasa Swahili atau bahasa orang Benin, dan sebaliknya. Dan sebuah sajak Indonesia tetaplah dapat diterjemahkan bukan saja kedalam bahasa Arab atau Latin dan Esperanto tetapi juga ke dalam bahasa Eskimo. Conditio qua non untuk terlaksananya pekerjaan ini ialah asal saja si penerjemah mengenal benar roh bahasa-bahasa tersebut. Karena mengenal roh bahasa Melayulah Alesandro Bausani sampai menamatkan bahasa Melayu itu seperti bahasa Itali di Timur.
Dari sekian banyak sastrawan yang berasal dan tinggal di Riau paling tidak ada lima nama yang dapat dinikmati karya-karyanya oleh orang-orang asing yang tidak mengerti bahasa melayu / Indonesia. Ini berarti kawasan sastra itu sudah meluas di luar sempadan geografis dan geokultural.
Lalu jejak yang ditinggalkan oleh berlima itu hendaklah diteruskan oleh pendatang-pendatang selanjutnya yang mungkin orangnya ada dalam ruangan ini.

2
DALAM perjalanannya mencari tempat di cakrawala kesusastraan kita penyair Ibrahim Sattah berdepan dengan banyak rintangan dan halangan yang kadang-kadang keluar dari kawasan sastra. Tidak sedikit sumpah seranah yang direjamkan di tengah wajahnya di samping acungan jempol dari sisi sebelah lain.
Mendatangi sebuah karya seni haruslah dengan diri yang terbuka, lepas dari semua waham wasangka. Dengan telanjang, kata orang Romawi, jangan menghukum (ne jugez pas) kata Andre Gide. Atau seperti yang dikatakan Goethe, setelah dalam embun Tuhan mandikan diri cuci-cuci.
Karena itu alangkah akan bersihnya suatu penilaian jika antara penyair dan pemerhati karya-karyanya yang terbentang jarak. Tapi demi kesaksian historis alangkah beruntungnya orang yang dekat benar dengan sang penyair.
Carl Gustav Jung, psikolog yang amat terkemuka dalam penilaiannya tentang penyair berkata, “Bukan Goethe yang menciptakan Faust, tapi Fauslah yang menciptakan menciptakan seorang Goethe”. Dari pernyataan ini dapat ditarik iktibar terhadap para penyair dan karyanya.
Dengan bekal dari Jung itu marilah kita berkata tentang sastrawan manapun yaitu bukan sang penyair yang menciptakan karya-karyanya tetapi karya-karyanyalah yang mencipkatan sang penyair.
Karya-karya Ibrahim Sattah telah menjadikan ia seorang penyair. Tanpa karya-karyanya mungkin ia hanya seorang anggota Polri atau seorang penerbit buku. Dan tentang karya-karyanyalah kita bertemu disini.

3
ADA dua kutub ekstrim dalam sikap budaya Orang Melayu, yaitu latah dan amuk. Pakar-pakar budaya kita belum ada yang mengambil kedua sikap ini sebagai tajuk penelitian ilmiah.
Seorang peneliti bangsa Perancis Favre menerangkan tentang latah sebagai “Indisposition nerveuse chez les femmes, dans laguelle alles disent tout ce qui leur vient a la bouche”. Sedangkan tentang amuk baik diperhatikan gambaran Stefan Zweig dalam karyanya Die Amoklaeufer yang seperti menyatakan bahwa amuk ialah tindakan manusia Melayu di titik didih di mana perhitungan terakhirnya ialah mati.
Jika kedua sikap di kutub yang bertentangan ini kita terapkan dalam proses penciptaan sastra akan bertemulah kita dengan analogi yang indah dan kokoh yang akan merupakan suatu sumbangan baju dalam kajian ilmu estetika.
Penyair Ibrahim Sattah menjumpai proses di kedua kutub itu. Ia tidak mengambil mantera sebagai sosok awal sajak-sajaknya. Ia berangkat dari kesederhanaan kanak-kanak, yang mempesona oleh wangi dan cemerlang warna-warni dunia, yang muntah oleh bau busuk matahari, yang menggelagak gembira menerima oleh-oleh dari Sang Bapa, yang menggelugut takut ditinggalkan Ibu sendirian dalam kamar berhantu sehingga meraung berteriak, “Mamma!”. Yang gagap mengeja kata-kata, yang lemas dalam gaung gaib guna-guna, yang mencabut jembia untuk mengamuk.
Tapi penyair ini tidak datang seperti meteor, tiba-tiba saja mencuatkan sinar terbakar menerangi cakrawala sastra. Ia merupakan mata rantai yang dengan setia melanjutkan kontinuitas persajakan di sungai Melayu.
Ia datang dengan kerendahan hati seorang kanak-kanak yang bersama teman-teman sebaya menyanyikan bulan:

‘tu bulan ‘tu bintang
wa wa ‘tu pucuk mali-mali


Lalu bertemu dengan panorama lain daripada yang pola karena pandangan menjadi tajam:

menjuntaikan awan
dan
tertegun


Namun akhirnya bersua juga dengan berbagai bentuk kedahsyatan dunia seperti:

wa wa darah siapa yang tumpah
wa wa gapai siapa tak sampai
wa wa hati siapa tak pedih

Ia melawan, ia menentang, ia mengamuk karena tudingan yang menyakitkan hati, barangkali dengan mengatakan seperti ini: Hei elang garang yang bersarang di puncak gunung paling tinggi, jangan nistakan aku, telah kurapah rimba sansauna tempat tak ada naga tak ada singa tak ada rimau tak ada disana, sansauna lebih hebat dari naga lebih bisa dari singa lebih pukau dari rimau, dan walau wa walau wu walau wi …
Lihatlah, seperti seorang pendeta Zen dalam ajaran Buddhisme di Jepang, sang penyair kehilangan kosakata yang tersedia dalam kandungan kamus. Di Jepang sana orang menamakannya Furabo yaitu pendeta dengan jubah tipis menggelebar dalam angin, mabuk dipesona keakraban alam.
Gagap dan bisu sudah Ibrahim. Lalu ia rembaskan pagar-pagar leksikografi, kembali seperti Pithecanthropus Erectus atau Homo Mojokertonensis yang belum mengenal kata-kata. Keadaan seperti itu pernah dikatakan oleh seorang penyair piawai Jerman Frederich Hoelderlin: “Ich verstand der Stille des Aether, der menschen worte verstand ich nie” (aku paham keheningan Aether, bahasa manusia tiada kumerti).

4
SEORANG penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Ada luka kecil, ada luka parah, sedemikian parah sampai sudah sipi dengan mati. Ada goresan lalang tajam di kulit, ada sayatan pisau bedah, ada tusukan sembilu yang berdenyut sampai ke hulu hati, ada mata tombak lekat di kaki, ada tikaman belati tepat ditengah dada, ada hentakan kapak membelah kepala.
Orangpun mungkin mendapat luka karena kasih yang amat mendalam. Orang bisa mati hanya karena dihina, dibenci. Dan seorang penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Seorang penyair sejati berkata-kata lewat ngangaan lukanya.
Maka terciptalah sajak. Tentu saja ada sajak-sajak kecil dan yang biasa-biasa saja. Ada pula sajak-sajak agung yang dilahirkan dengan perjuangan di depan maut bagaikan melahirkan bayi. Luka-luka jiwa yang besar melahirkan sajak-sajak seperti itu, yang menyeret para penghayat puisi ke dalamnya, yang keluar dari dalamnya setelah mengalami mandi rohani.
Luka-luka itu barangkali ada dalam diri Ibrahim Sattah. Adakah luka di kakinya, luka di tangannya, luka di dada, di kening, di kepala, di hati? Ketika memandang ke langit apakah ia melihat luka di sana? Juga pada angin, pada laut, pada ombak, pada bulan, pada kupu-kupu? Di mana-mana luka, dimana-mana luka? Luka dimana-mana?
Luka-luka manusia dapat kita jumpai pada kata-katanya. Mudahlah kita memahami ucapan Samuel Beckett ketika ia berkata tentang karyanya, “Kata-kataku adalah airmataku, mata dan bibirku”. Kata-kata yang dipakai oleh seorang penyair ialah kata-kata yang kedua menurut ajaran mencapai satori atau pencerahan dalam Zen Buddhisme yang merupakan gapaian terakhir seorang pengamal semacam sufisme dalam agama Islam.
Jika seandainya saya seorang Belanda yang tidak mengerti bahasa Indonesia, saya akan dapat membaca sajak-sajak Ibrahim Sattah melalui terjemahan yang dilakukan oleh Jan Eijkelboom dan Toeti Heraty Noerhadi. Sekiranya saya seorang asing yang berbahasa Inggeris, entah dari Inggeris , Kanada, Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, dan lain-lain negeri yang memakai bahasa Inggeris, saya dapat menikmati sajak “Kau” melalui terjemahan Supardi Djoko Damono bersama Mc Glynn seperti di bawah ini:

You

claw of coral claw of you claw of sea claw of you
claw of waves claw of light
sound of coral sound of you sound of sea sound of you
sound of waves sound of you
why is it lost
where
why is it far
where
why is it erect
where
why is it upright
where
why is it
where
why is it silent
where


come you come light come sea
come waves come coral
can you
can light
can sea
can waves
can coral
can island
you can not
light can not
sea can not
waves can not
island can not
earth can not
not Adam
not me
not your servants
reaching up to the sky

seeking
seeking nirvana
seeking na
seeking ni
seeking no
seeking na ni no
seeking no ni na
that’s only na
that’s only ni
that’s only no
that’s only na ni no
that’s only no ni na

claw of coral claw of you claw of sea calw of you
claw of waves claw of light
go home light
go home you
go home coral
go home sea
go home waves
go home you
go home light

left only me but
don’t leave me behind
go home you go home you go home you
do home you
me
in the direction
of You

5
JEDA dari amuk, orang akan merasakan ngilu sengatan sembilu, karena sudahlah menjadi fitrat manusia selamanya ingin menjadi bersih, mandi dalam embun Tuhan cuci-cuci. Penyair mengucapkan kata-kata sakral dan kudus, Bismillah yang sakti itu.
Meskipun dengan tegas Allah berfirman Wa ma ‘allamnahusy syi’ra (Dan bukan syair yang kami ajarkan ini) tapi ditinjau menurut jalan dan garis nahu, syaraf, mantiq, bayan, ma’ani dan sebagainya, ayat-ayat Al-Qur’an adalah maha puisi. Keanehan yang dijumpai orang dalam ayat-ayatnya dapat diterangkan jika orang memahami makna kedalaman puisi. Misalnya:

Wat tin
Waz zaitun
Wa turisinina
Wa hazal baladil amin

Demi pohon Tin
Demi pohon Zaitun
Demi bukit Tursina
Dan inilah negeri yang aman

Kaidah “Economic of words” dari keempat ayat itu memperlihatkan petunjuk tentang kekuatan puisi. Tak perlu ada keterangan lebih dari itu. Namun para penafsir seperti terdapat pada Tafsir Al-Jalalain yang memberitahu kita bahwa dengan ayat pertama terangkum seluruh riwayat Nabi Adam, yang kedua dengan Nuh, yang ketiga Musa dan keempat tentang Ibrahim di Mekkah sebagai negeri yang aman.
Tak pula terdapat keterangan apakah Ibrahim Sattah pernah menekuni mantera secara mendalam berikut rajah-rajah dalam benda-benda seperti wafaq dan tangkal. Tapi tipografi sajak-sajaknya menceritakan kepada kita bahwa bentuk dan sosok purba itu kelihatan dari penampilan beberapa sajaknya.
Juga tentang improvisai tampaknya Ibrahim Sattah tidak berhutang kepada kebudayaan Barat. Warisan tempat akar batang tubuh Ibrahim Sattah telah menyediakan semua ini.
Kita sangat beruntung sekali dapat menyaksikan penyair Ibrahim Sattah itu sendiri membentangkan karyanya. Hal ini saja sudah merupakan penjelasan yang seterang-terangnya karena seorang penyair tidak usah dan tidak perlu memberitahu secara verbal. Keterangan yang direntang luas sama sekali bukan pekerjaan sastrawan. Sekali sang penyair muluk berteori maka kaki, tangan dan hatinya bisa terbelenggu. Memang kadang-kadang ada penyair yang tak sabar menunggu datangnya seseorang yang benar-benar memahaminya. Tapi sebenarnya baiklah ia bersabar walaupun ia menjadi seperti Hoerderlin yang harus menunggu lama sekali.

Pekanbaru, 1 Mei 1982

Mencari rahasia semantik puisi Ibrahim Sattah secara Gramatikal.

Mencari rahasia semantik puisi Ibrahim Sattah secara Gramatikal.rasanya akan menemukan kegagalan meskipun kita dapat menemukan satuan gramatikal yang terkecil dalam sistematik bahasa yang ditampilkannya.

Aspirasi kata dalam puisi-puisinya tampil dengan perbedaan-perbedaan yang tidak fungsional. Kehadiran kata yang terbelah-belah dalam kumpulan “Ibrahim” memperkuat keyakinan saya bahwa analisa bunyi diluar tata bahasa akan dapat memberi interprestasi yang lebih akrab dengan rahasia semantik puisi-puisinya. Meskipun akan banyak ditemukan aksentuasi penampilan fonetik, fonologi dengan kaitannya dalam morfologi dan sintaksis yang secara khas dan baru hanya ditemukan dalam puisi-puisi Ibrahim Sattah.

Pada taraf fonologi fonemonem yang tampil dalam puisinya memang tidak bermakna; fungsi membedakan makna, duka duki, dandandid, begitu pula dengan walu wa walau wu walau wi dan a i u e o nya.

“Puisi-puisi saya bertolak dari peristiwa alam, tidak dari peristiwa kebudayaan”. Ucapan itu dinyatakannya di tahun 1978, dan dua tahun kemudian 1980 kembali diucapkan secara mengagetkan dalam suatu acara penampilannya di Taman Izmail Marzuki, Jakarta.

Saya katakan “mengagetkan”. Karena ucapan semacam itu tentu bisa disalah artikan. Disamping pada gilirannya juga mengandung resiko dapat memojokkannya selaku penyair yang termasuk paling bersungguh-sungguh dewasa ini.

Namun sebenarnya bisa segera dipahami. Terutama seandainya lebih awal orang berkesempatan menyimak percakapan Slamet Sukirnanto dengan pelukis Rujito, yang antara lain mengatakan :
“Sajak-sajhak Ibrahim Sattah lahir dari kehidupan batin, keluar dari kedfalaman lembah keprasejarahan dan kepurbaan lewat pergolakan gelap terang… terasa sebagai organisme sendiri yang diucapkan secara absolut, menyerap ke dalam, tenang, dekat dengan sumber dan langsung di dalamnya. Segar, jernih menjelajah pengalaman batin yang lain”. Atau dari Ikranegara, “Potret manusia dalam puisi-puisi Ibrahim Sattah memang tidak berada dalam konteks ‘manusia tak modern’ tapi lebih tepat diklasifikasikan sebagai ‘manusia alam’. gambaran dunia yang ada didalam puisi-puisinya juga seperti itu, sehingga ada semacam ‘naivisme’ mencuat keluar.”

Bagi saya yang merasa beruntung dapat lebih mengenal Ibrahim Sattah sejak awal perjalanan kreatifnya, justru melihat, dengan pernyataan itu dia ada pada makna yang paling dasar dari “karakter revolusioner” nya Erich Fromm. Yaitu bila mana manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri dan bukan alat bagi tujuan yang digerakkan dari luar dirinya. Atau bilamana makna hidup yang sejati hanya digerakkan oleh sesuatu dari dalam diri sendiri, yang digerakkan dari luar.
Sebab, “sesuatu yang digerakkan, tidaklah hidup “. Kata Erich Fromm. “menghormati kehidupan bukan berpegang erat kepada kehidupan, tapi menghidupi kehidupan”. Dan ini saya temukan secara total dalam pengungkapan seluruh organ individualitas Ibrahim Sattah baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam penampilan puisi-puisinya. Atau bahkan kalau boleh saya katakan, dalam tiap hubungannya dengan dunia dimana dia melihat, mendengar, mencium, merasa, m eraung, berpikir, berkehendak, bercinta dan seterusnya.

Disinilah letak arti penting dari pernyataan Ibrahim Sattah, mengapa puisi-puisinya bertolak dari peristiwa alam dan tidak dari peristiwa kebudayaan. Dengan pernyataan itu nampaknya Ibrahim berusaha mengatasi batasan-batasan yang sempit dari masyarakatnya dan tidak ikut terjebak dalam arus “kebudayaan“ tetapi “lepas bebas dari segala macam otomat-otomat yang berkembang menjadi abstrakksi-absrtaksi”. Sperti dalam pandangan Erich Fromm.

Husnu Abadi, 15 Desember 1980

Pembacaan Sajak Ibrahim Sattah

Teater Arena

IBRAHIM SATTAH, salah seorang pembeharu dalam sejarah perpuisian di Indonesia. Gaya penulisannya memiliki karakter tersendiri dan sebagai penyair ia memiliki gaya baca yang khas dan ekspresif.

Musim panas 1976 Ibrahim terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, peserta Puisi Asean 78 dan turut mengambil dalam Pemeran Puisi Konkrit.

Ibrahim Sattah dilahirkan di Riau,1945. Ia tidak pernah menduga menjadi penyair. Kali ini ia akan membacakan karya-karyanya yang terbaru setelah kumpulan sajaknya yang pertama “Dandandid”.



Sebuah Pembicaraan Di Saat Keberangkatan

“Ibarahim , kemana kita katamu”.

Ini pagi koran kota melahirkan kisahnya di ujung langkah seorang pejalan. Berduka. Seperti mengayunkan aroma dan keringat pagi. Angin yang payah dan dingin yang lembut telah mengambilnya. Dibawah matahari. Langit pun turun dan berbaris disini. Banyak yang tiba-tiba mengenang dan mengingatmu (senandung dan mainan anak-anak terus berlalu. Sepi dan semakin sepi).

“Ibrahim, berikan debar dunia itu kembali”.

Pejalan itu terus mekangkah. Pergi. Dan menghilang. Rumahnya tak beratap, tidak berjendela. Tidak berkursi. Tidak beruang. Ia tengah bergurau dengan Ibrahim. Diluar banyak yang menanti. Tapi ia terus saja melangkah. Di luar masih banyak yang menangis. Tapi ia terus saja melangkah. Pejalan itu tidak pernah berhenti. Tak pernah berkeluh. Tak pernah diam. Ia tak mungkin lagi berpulang.

“Ibrahim, pindahlah kebulan”.

Ini pagi koran kota masih berduka. Ini pagi katak-katak di bulan masih berduka. Ini pagi gurun, ikan, hutan, dan semua sebab masih berduka.
“Keranda siapakah itu yang tengah malam masih berjalan?” tanyaseseorang kepada sesiapa yang masih menangis. Semua diam, tak ada yang menjawab. Tak ada yang berusaha untuk menjawab. Sang penanya geram. Karena hanya dia yang tak tahu. Penanya itu kesal. Karena hanya dia yang tak tahu. Penanya itu kesal karena dia yang tak kenal. Ia makin resah.

“Ibrahim, berikan debar dunia itu kembali”.

Pejalan itu masih melambai. Ia tak tenggelam. Dari tarempa yang sedih, laut melahirkan nelayan. Dan angin. Dan ikan. Dan pejalan. Terima kasih Tarempa. Wajahmu yang sederhana tapi merasa subur dan mengelisahkan. Tarempa tidak tidur. Tarempa tidak sedang tidur. Dan terempa tidak mungkin tidur.

Husnu Abadi 1988

PUISI SANG PAWANG MANTERA DARI TAREMPA

PUISI SANG PAWANG MANTERA DARI TAREMPA
Oleh : Korrie Layun Rampan

MENARIK sekali pembacaan sajak-sajak Ibrahim Sattah 25 september 1978di Taman Izmail Marzuki. Bukan saja karena pembacaan itu dibantu oleh beberapa figuran dan dengan pemecahan kaca serta joget ajojing, tapi terutama karena audience bisa langsung mendengar puisi mantera itu bersmburan dari mulut sang penyajaknya, paling tidak, bagi saya pernyataan-pernyataan penyair mengenai proses penciptaannya serta latar belakang kehidupan pribadinya bisa menjalin komunikasi dan lebih menerang-jelaskan makna sajaksajak yang dibaca. Saya mendapat dasar aspresiasi setelah mendengar pengakuan penyairnya bahwa sajak-sajaknya ditulis karena keterpesonaanya terhadap alam. selaras dengan pernyataan yang di catat Slamet Sukirnanto dalam Pelita, bahwa ia menulis sajak bermula dari “main-main” dan berakhir dengan tertegun. Sebagai mana ia selalu melihat sesuatu dengan kebencian, tapi berakhir dengan rasa cinta yang dalam, intens dan akrab. Sehingga puisi merupakan pemindahan sesuatu kedalam “kat-kata”, sesuatu yang mungkin tak mudah dimengerti, tapi ia bisa mencari sesuatu dalam dirimanusia. Seperti halnya pada dukun mantera, manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada puncuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Ia tertegun di situ. Saya rasa penyataannya ini sangat tepat seperti yang terasa dalam sajak yang berjudul “Wa Wa”.

Seperti halnya mantera, sajak-sajak Ibrahim Sattah kaya dengan bunyi. Ada tujuan hanya inprovisatoris semata tanpa maksud membangun kata dalam arti yang vocabuler. Tetapi kta atau bunyi itu dimadsudkan untuk membangkitkan suasana magis, sebab kalau sajak itu dibacakan maka suasana yang magis – religius itu pun terbnagun dan tersua di sana. Sajak jadi mencekam, menghimbau dan menarik pendengarnya kedalam suasana kemantraan itu. Sebab umumnya mantera punya sifat menarik atau menolak pesona atau kekuatan yang tersamar dan tersembunyi. Apakah itu kekuatan baik atau kekuatan buruk. Keduanya sama-sama punya arah, jalan, kekuatan, dan tujuan maksimal yang ingi dicapai. Pada bagian sajak “Kau” Ibrahim menampilkan kata-kata dan bunyi yang mempertalikan suasana magis dalam usaha memperjelas tujuan yang akan dicapai lewat saran bunyi-bunyian yang tidak dipahami secara vocabuler. Di sini suasana sajak yang berpangkal dari ucap mantera terasa sangat intens sekali. Kata-kata dan bunyi tidak punya arti selain lebih mempertegas suasana magis itu sendiri. Kita baca misalnya penggalan sajak ini.

tidak adam
tidak aku
tidak dayang-dayangmu
menggapai
mengapaigapai ke
langit
mencari surgawi
mencari wa
mencari wu
mencari wi
mencari wa wu wi
mencari wi wu wa
yang hanya wa
yang hanya wu
yang hanya wi
yang hanya wa wu wi
yang hanya wi wu wa

Selaras dengan sajak di atas adalah sajak “sembilu” yang terdiri dari 7 bagian itu. Sajak yang umunya menampilkan bunyi-bunyi dengan tipografi yang manis bertingkat-tingkat. Kata-katanya bebas bergerak tidak mengandung lambang-lambang tertentu, kecuali kesadaran diri penyair terhadap eksistensinya yang serius hanyut pada arus ketidak tahuan arah tujuan dari hidup. Alam memberi pesona, memberi isyarat-isyarat kehidupan yang sering membuat ketertegunan kala di pandang dan dihayati secara dalam dan seksama. Alam suatu misteri, suatu daya hidup yang yang maha dahsyat sekaligus suatu sumber kehidupan itu sendiri. Timbullah kesadaran manusia ketika berada di tengah alam, diantara benda-benda, sendiri tanpa pesona lainnya, orang akan sukar mengerti dirinya karena tidak pnya bahan banding yang bisa memberikan penjelasan. Pesona itu boleh menyebut apa saja untuk identitas dirinya, karena ia berada di luar dari orang lain. Suatu gambaran keterasingan yang kena dan pas dari suasana alami itu. Jelas seperti sajak “Sembilu” bagian 6 dan sajak-sajak yang melukiskan perjalanan yang entah ke mana.

Umunya sajak-sajak Ibrahim Sattah lahir dari kedalaman kehidupan batin, keluarga dari kedalam lembah keprasejarahan dan kepurbaan lewatpergolakan gelap-terang. Terlihat padasajak “Batubelah”, “Dandandid” dan lain-lain. Dan sperti umumnya mantera, sajak-sajak dibangun dengan banyak menyebut nama benda, kaya bunyi tapi seperti tanpa makna. Yang diutamakan hanyalah unsur magis itu semata. Sehingga setiap kata boleh berdiri sendiri dengan beban magis yang menyampaikan pukaunya sendiri. Baik pukau itu lewat lembah yang gelap mau pun menyelusuri lembah cahaya. Paling tidak, karena ia punya beban tersendiri yang berbeda dari matera, membentuk jalur komunikasi batin antara penyajaknya dengan pembaca. Sehingga kalu mantera bertujuan menolak petaka atau membuat petaka, atau guna meraih suatu hasrat, puisi ( yang tentu sajabukan mantera) saya rasa tujuannya hanya menciptakan pesona batin. Dalam hal ini materi dan media yang digunakan Ibrahim Sattah memberi kesegaran lewat daya ucapanya yang mandiri seperti itu.
Ia berkata-kata dengan ekspresi yang purba dalam suasana hidup riau dan semraut, sehingga apa yang dikatakannya bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi justru itulah yang mencelikkan mata kita di kurun ini. Kita perhatikan dia berkata tentang pasir, batu, bayang, lengang, sunyi, tuhan dan dirinya sendiri. (Dandandid).

Pada sajak-sajak “duka” jelas sekali sifat kemanteraan, di manasajak itu tidak menampilkan makna atau pengertian-pengertian yang defintif. Terasa sejak dibangun dengan main-main seperti kata-kata : “duka?, duka itu anu” yang jelas tidak memberi kepastian arti. Anu bisa ditafsirkan dengan beribu makna. Tapi baris akhir sajak memberikan aksentuasi yang khas dari geletar-geletar mantera. Apa lagi kalau sajak itu dibacanya, sangat terasa intensitas magisnya tampil dengan sepenuh kedalamanya. “Dukaku. Dukamu.dukadiri dua jari darisepi”.

Penyair Ibrahim Sattah kelahiran Tarempa, kawasan Laut Cina Selatan, pulau Tujuh – Riau 1945. Sajak-sajaknya cepat menarik perhatian publik setelah sajaknya yang berjudul “Tempias” dimuat di majalah sastra Horizon (1971). Sajak itu melukiskan nostalgia masa kanak-kanak lewat kenangan manis di masa kecil. Namun setelah dewasa, hari-hari itu terasa terus pergi semakin jauh-semakin jauh. Jauh sekali. Suasana yang di bangun penyair asangat harmonis lewat daya ucapnya yang bersahaja.

Dari sini
Diri yang kau lepaskan seluruh
Mengerling
Lalu pergi
Lalu jauh
Lalu
Jauh
Semakin jauh

Selisin sajak yang dibacakan di TIM malam itu memang dengan jelas memperlihatkan wajah kepenyairan Ibrahim Sattah dengan lebih terang lagi kepada kita. Walaupun sajak-sajak itu telah pernah kita baca dari berbagai penerbitan, tetapi pertemuan langsung dengan penyairnya membawa suasana baru, terutama bagi apresiasi kita. Beberapa sajak sangat mengesankan sekali ketika di baca oleh penyairnya. Dan wawasan estetik penyair ini yang dijelaskannya lebih mempermudah para penikmat mengapresis puisi-puisinya. Ibrahim Sattah ternyata menimba pengalaman murni dari alam, dari selingkungan kehidupan sehari-hari yang masih orisinil. Jadilah sajak-sajaknya mengucapkan dirinya dalam kesahajaan kepurbaan, lahir dari relung batin yang bergulat dengan hal-hal magis religius. Berbagai aspek inilah yang melahirkan puisi-pusi murni, puisi mantera !.

Korrie Layun Rampan, Puisi Sang Pawang Mantera dari Tarempa
PUISI INDONESIA KINI, SEBUAH PERKENALAN

MANUSIA ALAM IBRAHIM SATTAH DALAM PENTAS PUISI

MANUSIA ALAM IBRAHIM SATTAH DALAM PENTAS PUISI
Oleh Ikranegara

Ketika Ibrahim Sattah mengatakan bahwa puisi-puisinya tidak berangkat dari peristiwa kebudayaan tetapi dari peristiwa alam,ini menimbulkan tanda tanya. Seperti sudah sama kita ketahui, penyair dalm menggunakan kata-kata tidak sma halnya dengan para ilmuwan. Karena bisa jadi kata “kebudayaan” dan kata “alam” itu punya makna tersendiri.

Penjelasan lebih lanjut atas pernyataan itu bisa saja digali dari diri sang penyairnya sendiri, tapi bisa juga dari orang lain. Apabila sang penyairnya tergolang dalam seniman yang suka bungkam mengahadapi pertanyaan-pertanyaan tentang karyanya, maka harapan memperoleh jawaban dari dirinya buyar. Tampaknya demikianlah halnya dengan Ibrahim Sattah : ia tergolong yang punya kecendrungan untuk bungkam saja.

Seniman-seniman yang suka bungkamsemacam ini memang banyak. Di dunia barat terkanal dalam dunia bungkam ini namanya raksasa : Samuel Beckett. Ia pemenang hadiah Nobel, dan karya dramanya yang berjudul “menunggu Godot” dikenal bukan hanya di barat tapi juga dinegeri kita ini. Tapi siapakah yang dimadsudkannya dengan Godot itu ? Samuel Beckett hanya bungkam.

Dalam Rapin Teater ’80 Di TIM tampaknya aridn C Noer memiliki kecendrungan semacam itu. Itulah sebabnya didalam buku yang memuat metode kerja dan lain-lain para sutradara teater kita tidak kita temukan tulisannya, swhingga apa yang dikerjakannya di belakang layar selama ini tidak terungkapkan olehnya sendiri.

Semua ini wajar. Sebab, seperti diucapkan oleh Samuel Beckett : “ kalau saya bisa menerangkan, sudah saya terangkan !”. disamping itu, ada alasan lain kenapa seniman pencipta bungkam : “Biarlah penikmat menikmati kemerdekaannya sebagai pribadi. Biarlah mereka dengan interprestasi mereka masing-masing. Saya tidak ingin sama sekali mengganggu atau mengajar mereka.

Inilah yang sebenarnya terjadi ketika acara tanya jawab berlangsung setelah “pementasan puisi “ dan “pembacaan puisi” di Teater Arena 27 juni ’80 yang lalu antara Ibrahim Sattah dengan pengunjungnya. Maka itu, sebenarnya tepat sekali ketika Leon Agus bertanya kepada Ibrahim Sattah, apakah acara tanya jawab bisa di teruskan, setelah pertanyaan pertama seorang pengunjung tidak dijawab oleh Ibrahim Sattah.

Penyanya pertama itu menanyakan makna bait puisi Ibrahim Sattah yang berbunyi “bismillah mawar – bismillah langit – bismillah hati”. Setelah menyatakan tidak bisa menjelaskan maknanya, dilanjutkan oleh Ibrahim Sattah dengan pertanyaan malah : “menurut saudara sendiri, bagaimana?”.

Selanjutnya tanya jawab itu berjalan dengan tersendat-sendat. Dan Ibrahim pun meminta kepada beberapa nama untuk tampil kedepan membahas puisinya. Antara lain di mintanya Sutardji Calzoum Bachri. Darmanto Jt, ramadhan KH dan HB Jassin. Tapi yang kemudian tampil adalah kritikus sastra HB jassin.

PADA mulanya adalah gelap.kecuali secercah cahaya lilin dibalik dua lembar layar hitam yang ditegakkan mendinding dan membentuk sebuah celah yang menjulang ke ketinggian, sedang dilantai depannya membentang selembar kain putih memanjang sampai ke pertangahan pentas, sebungkah batu dalam gelap dan sunyi.

Ibrahim Sattah yang akan menggunkan set panggung ini berada dibalik layar hitam itu, tak nampak dari penonton. Dan dari sinilah dia mulai membaca puisi-puisinya, yang diawali dengan puisi yang ada “bismillah” nya tadi. Ketika ia sudah muncul dibalik layar, dan berada di antara kedua lembar dinding hitam itu, ketika ia berada di celah itu, cahaya masih belum bertambah. Ia masih dalam gelap.

Baru setelah beberapa bait lainya diucapkan, dan ia sudah duduk di altar itu, ada cahaya biru jatuhmengenai batu yang sebungkah besar di tengah pentas, ia pun terkena cipratan cahaya. Sambil bait demi bait ia lontarkan lewat vocalnya, cahaya dari layar meneranginya. Lalu cahaya merah dari kirinya.

Set panggung di Teater Arena itu tidak berganti, tapi penataan cahayanya borobah dari saat kesaat, menyebabkan ruang pun mau atau tidak mau berobah nilai kehadirannya. Tapi kehadiran yang utama adalah puisi-puisi Ibrahim Sattah.

“Saya seperti berada di sebuah tempat yang seram. Seperti di dalam goa”, komentar HB. Jassin malam itu tentang “pementasan puisi” Ibrahim Sattah itu.

Sedang puisi-puisi yang di bacakannya dalam rangka “pementasan puisi” itu dipilih yang tergolong religius, primitif, mistik, naif dan misterius. Pementasan ini tampaknya berhasil memukau pengunjung, dan suasana Teater Arena pun dikuasai oleh semacam kekhidmatan.

Kesuksessan Ibrahim Sattah pun mendapat sambutan tangan spontan yang cukup gegap gempita.

Beberapa oarng rekannya sepenyair berkomentar, “mudah-mudahan saja kesuksesannya kali ini tidak menyebabkan dia rusak kembali seperti dulu-dulunya. Penampilannya yang dulu (1978) diwarnai oleh celoteh keangkuhan, dan sama sekali tidak membedakan mana yang serius yang main-main, sehingga ada kesan ngawur dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tapi kali ini lain. Dia menyakinkan. Tampilnya dipanggung kali ini lain. Dia menyakinkan. Tampilnya di panggung kali ini diwarnai oleh keseriusan aktor. Vokal pas dan intens. Pokoknya bagus!”.

TENTANG kata “kebudayaan” yang saya lontarkan di bagian awal tulisan ini, menurut saya, itu berarti “kebudayaan modern yang rumit dengan fikiran, analisa dan mesin”. Sedangkan kata “alam” itu berarti “kebudayaan yang masih dekat sekali dengan alam”, sebuah kebudayaan yang bersahaja, mendekati kebudayaan yang primitif, atau kebudayaan purba.

Kesimpulan ini saya ambil dari menelaah karya-karya Ibrahim Sattah, yang saya bandingkan dengan karya puisi Sutardji Calzoum Bachri.

Potret manusia yang ada di dalam puisi-puisi Ibrahim Sattah memang tidak dalam konteks “manusia modern”, tapi lebih tepat diklasifikasikan sebagai “manusia alam”. gambaran dunia yang ada di dalam puisi-puisinya juga seperti itu, sehingga ada semacam “naivisme” yang mencuat keluar. Juga suasana primitif dunia mistik.

Beda dengan potret manusia manusia yang ada di dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Potret yang satu ini adalah “manusia modern”, demikian juga gambaran dunianya adalah modern. Bahkan di banyak bagian membersit apa yang kita kenal sebagai “filsafat” di dalam karya-karyanya. Kalaupun ada kepurbaan di dalam karya-karyanya, itu adalah kepurbaan yang berada di dasar jiwa manusia modern adanya. Keprimitifan yang ada juga dalam konteks nilai-nilai dunia modern.

Tapi juga, bahwa ada kesamaan antara Sutardji Colzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, itu benar, dalam arti keduanya secara linguistik maupun estetik dan mistis berakar pada mantera. Dan ternyata landasan berpijak yang sama ini bisa melahirkan sosok-sosok puisi yang masing-masingnya memiliki keunikan yang mandiri, berbeda satu sama lainnya. (Ikranegara, Manusia Ibrahim Sattah Dalam Puisi, Sinar Harapan, Sabtu 5 juli 1980)

MENGENAL IBRAHIM SATTAH

MENGENAL IBRAHIM SATTAH
Oleh : Slamet Sukirnanto

Penyair Sattah mulai kita kenal, ketika puisi-puisinya dimuat dalam majalah sastra Horizon. Sekitar tahun 70- an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974, ia lekas menarik perhatian karena penampilannya dalam membaca puisi secara unik dan segar. Dari karya-karyanya dan cara pembacaannya menimbulkan kesan kepada kita bahwa Sattah memiliki ciri-ciri tersendiri. Sementara itu juga menumbuhkan kesan yang mendalam, bahwa karya-karya Sattah banyak mengingatkan kita pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri. Umpamanya baris puisi ini :

“ duka itu saya saya ini kau kau itu duka
duka bunga duka daun duka duri duka hari”
(“Duka “, Ibrahim Sattah)

Bandingkan dengan baris di bawah ini

“dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resah kalian”
(“O”, Sutardj Calzoum Bachri)

Memang, sepintas lalu karya kedua orang penyair ini susah dibedakan. Ada sementara kalangan berpendapat bahwa puisi-puisi mereka mirip satu sama lain. Apakah benar demikian ?. Disini diperlukan diperlukan seorang penelaah yang tekun untuk mencari penerangan yang lebih gamblang tetang masalah ini. Hal ini menarik. Karena, kebetulan Sutardji dan Sattah lahir di daerah yang sama : Riau – tempat asal bahasa Indonesia.
Dan kebetulan pula mereka bertolak dari tradisi sastra yang sama Mantera.

Tahun ketika ibtahim Sattah muncul dalam majalah Horison, Sutardji dalam suatu kondisi puncak mempesona publik peminat sastra, karena usahanya ingin mendobrak kelesuan dalam dunia puisi kita. Ia telah menawarkan sikap baru, orientasi baru dalam mencari sumber penciptaan puisi : kembali pada hakekat mantera. Pada saat itu, sutardji hanya menarik perhatian karena bentuk pengucapannya dalam puisi tapi juga cara penampilanya didepan publik. Kekuatannya dalam menggerakkan dan merangsang imajinasi kita secara total. Sehingga ketika kemudian hari muncul Ibrahim Sattah membacakan puisinya di depan Pertemuan Sastrawan itu, kita dikejutkan oleh corak penampilan yang lain lagi . Sehingga kita mendapatkan perbandingan antara dua penyair ini. Setidak-tidaknnya kita telah diperkaya oleh kehadiran puisi Sattah.

Dalam percakapan dan pertukaran pikiran saya dengan pelukis Rudjito (Dosen LPKAJ) pada saat itu menemukan suatu perumusan perbandingan gejala persajakan antara Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan Ibrahim Sattah (IS). Perumusan garis besar itu seperti berikut :

SCB : Karyanya dilandasi materi-materi yang ditarik dari rasa keasdaran hidup yang besar – kesadaran akan pengalaman kemelut, perasaan hati nurani yang lumat , penderitaan pasi, kekayaan yang pada hakekatnya dimiliki sebagai fundamen.
IS : karyanya lahir dari kedalaman kehidupan batin, diluar dari kedalaman
lembah keprasejarahan dan kepurbaan lewat pergolakan gelap-terang.
SCB : Patung
IS : Totem (rasa organismesendiri yang diucapkan secara absolut).
SCB : Meruang.
IS : Menyerap ke dalam.
SCB : Kota (istilah sementara).
IS : Kampung (istilah sementara).
SCB : Ruang – gerak(movement).
IS : Ketenangan.
SCB : Ke luar.
IS : Ke dalam.
SCB : Agresip, vitalitas, visi.
IS : Bergema, mengendap, total.
SCB : Jauh dari sumber – mencari hakekatnya saja.
IS : Dekat dengan sumber – langsung di dalamnya.
SCB : Muram.
IS : Segar.
SCB : Kemelut.
IS : Jernih.
SCB : Jiwanya – esensinya.
IS : Effecnya.
SCB : Khos.
IS : Menjelajahi pengalaman batin yang lain.


Cara menarik kesimpulan di atas memudahkan kita untuk menangkap makna yang lahir dari puisi dua penyair yang satu daerah ini. Sutardji lama telah berdomisili di Bandung (sekarang di Jakarta) dan Sattah di Pekanbaru (Riau). Nampaknya, mereka memiliki “pure experience” (pengalaman murni) yang berbeda, meskipun sumbernya dari tradisi sastra yang sama.

Meskipun tidak secara jelas-jelas ia (Sattah) menyatakan kembali pada mantera, tapi sumber penciptaannya tidak lain dari kekuatan yang terkandung dalam mantera itu. Menurut pengakuannya (1974) menulis puisi bermula dari “main-main” dan berakhir dengan tertegun, sebagaimana ia melihat sesuatu dengan kebencian, tetapi beralhir dengan rasa cinta yang mendalam, intens dan akrab. Ia juga mengatakan bahwa menulis puisi memindahkan sesuatu dalam “kata-kata” – sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti, dan dengan “kata” sesuatu telah terjadi (lihat Rudjito, 1980 : Catatan untuk sajak-sajak Ibrahim Sattah – pen). Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekedar suasana hati, bukan sekedar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada pucuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isidalam karya puisi. Meninggalkan pengertian antara wadah dan idenya sendiri. Pendirian semacam ini sesungguhnya tidak baru. Namun, perlu kita perhatikan juga.

Sebab apa yang dikemukakan diatas, mungkin sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Pierre Reverdy dalam tulisannya Di mana Puisi Kutemui (dimuat dalam Gelanggang, SIASAT). Pierre Reverdy mengemukakan : “dalam seni juga seperti dalam alam, bentuk tidak mungkin jadi tujuan. Kita tidak melangkahkan kaki untk sesuatu bentuk yang tertentu, tapi kta menemuinya, kita berhadapan dengannya dengan tidak disangka-sangka terlebih dahulu. Ia adalah suatu konsekuensi, semacam hasil yang sudah seharusnya dari suatu tindakan yang digerakkan untuk kepentingan mencapai puncak dalam perwujutan. Suatu benda yang tertentu dikerjakan dengan cara tertentu akan beroleh bentuk lain. Bentuk lahir dari dirinya sendiri”.

Kesan yang kuat yang kita kemukakan tadi bahwa Sattah juga bersumber dari mantera (seperti halnya pada SCB) ialah terletak pada kenyataan bahwa puisi itu mengandung ciri-ciri yang biasa dimiliki oleh puisi mantera. Umpamanya, kaya bunyi (vocal) sebagai kekuatan puisi. Kekuatannya terasa kalau dibacakan. Unsur-unsur magis. Dan seolah-olah tidak mempunyai makna apa-apa kecuali untuk mempengaruhi. Kita ambil contoh anteraorang Dobu (pantai selatan Irian) :

Burung rangkok, penghuni Sigasiga
Di puncak pohon Iowana
Ia memotong, ia memotong
Ia menyobek
Dari dalam hidung
Dari dalam sisi kepala
Dari dalam tenggorokan

Mantera sihir tidak mengandung makna (puisi) apa-apa kecuali apabila di bacakan mengandung kekuatan tertentu.

Apabila Sutardji menyatakan kata tidak mewakili pengertian tapi kata itu sendiri, pada Sattah kata hanya untuk menuangkan sesuatu.

Sattah memilih kata jejak, adam, langit, gerak, laut, dll, lahir dari suatu kesadaran berimprovisasi ketika ia hendak menjawab masalah misteri dirinya, hidup dan maut. Puisinya kaya dengan irama (bunyi) yang mengandung daya kekuatan yang menguguh kesadaran kita bila dibacakan. Seperti halnya sajak Sembilu. Ia mempertanyakan dirinya secara intens. Benda-benda seperti mawar, bumi, batu, langit, laut, dll itu menyatu dalam kesadaran ketika ia mempertanyakan namaku dan aku. Kata-kata itu sendiri tidak megandung perlambangan. Juga tidak membangkitkan asosiasi tertentu. Semuanya menyatu dalam kesadaran dirinya. Termasuk ketidak-tahuannya terhadap semesta dan kehidupan dengan hanya menyebutkan a i u e o dan sebagainya.

Slamet Sukirnanto, mengenal Ibrahim Sattah. Pelita, Jakarta, 19 September 1978